Kamis, 25 Agustus 2016

Mentor Sabar

Dan akhirnya aku sadar, engkaulah sang mentor sabar

Bertemu denganmu membuatku sadar, ada yang sedang Ia tunjukkan
serupa bercermin setiap mendengarmu berkata nyinyir, satir

hingga aku membatin, seringnya tak sadar lontarkan kalimat-kalimat menyakitkan
hingga aku membatin, bisa jadi banyak yang terluka namun mereka hanya diam
hingga aku membatin, semua enggan menegur dan aku tak pernah sadar dosa ini semakin membuatku tenggelam

Jangan khawatir tak ada dendam di hati
aku hanya ingin berterima kasih

*Foto Ilustrasi : Google


Senin, 21 September 2015

Ocehan Pagi ^^

Hmm...setelah bergabung dengan Komunitas UMMI Menulis (KUM), mau nggak mau aku harus nulis minimal satu artikel sebulan.
Awalnya agak stres sih, karena suka bingung mau ambil tema apa. Tapi mungkin di situlah tantangannya ya, karena ada "kewajiban" untuk menulis minimal tiga ratus kata saja dalam sebulan membuatku mau nggak mau berusaha untuk menggugurkan kewajiban itu ihihihi...

Namun, ketika telah memasuki bulan ketiga sepertinya aku semacam tercerahkan ahahaha... Awalnya bergabung dengan KUM biar bisa "memaksa diri" untuk terus menulis, tetapi sekarang aku merasa ada hal yang jauh lebih indah dari itu.
***
Ini tentang berbagi. ^^

Dulu saat awal-awal memutuskan untuk kembali mengejar mimpi menjadi penulis, terlalu banyak alasan yang membuatku enggan untuk menulis. Mulai dari hadiah lomba yang biasa aja (#masih amatir udah matre, pilih-pilih hadiah ahahahahaha parah) sampai merasa sayang kalau tulisanku di templokin di blog doang padahal bisa jadi lebih berpeluang kalau dikirim ke majalah (#yang ini lebih parah ahahahahah #penulis amatir sok keceh hahahah). Lalu semakin hari bukannya semakin produktif menulis, aku malah semakin tertinggal jauh dari teman-teman seperjuangan yang sama-sama punya mimpi menjadi penulis. Mereka sudah berkali-kali tembus media bahkan sudah berhasil menerbitkan buku solonya. Sementara aku? jangankan buku solo atau tembus koran atau majalah menulis status aja udah ogah. Hampa...merasa ragu dengan mimpi sendiri. Malas gerak juga, merasa udah salah menentukan mimpi.

Dan entah apa ini semacam telah tercerahkan atau buah dari keputusasaan karena tak ada satu pun tulisan yang dihasilkan hingga aku merasa perlu meluruskan niat. Sebenernya mau jadi penulis itu niatnya apa? Tujuannya apa?
Untuk dikenal orangkah? Padahal tembok kamar pun paham aku tak nyaman menjadi pusat perhatian. Lalu menulis untuk apa?


Berbagi. Akhirnya aku mendapatkan kata itu. Seharusnya tujuanku menulis bisa sesederhana itu. Menulis untuk berbagi, menebar manfaat menebar kebaikan. Jika akhirnya ada hati yang terketuk dan menjadikannya  sebuah inspirasi, semoga menjadi salah satu pemberat timbangan kebaikan di hari akhir nanti. ^^

Majalah Ummi Online bisa menjadi sarana yang tepat pikirku. Banyaknya orang yang membaca majalah ini membuat peluang tulisan dibaca oleh lebih banyak orang menjadi sangat terbuka. Jika banyak yang membaca, siapa tahu semakin banyak yang merasakan manfaatnya. Dan itu nilainya bisa jauuuuuh....jaaaauuuuh lebih berharga dari sekedar rupiah yang mengalir ke rekening pribadi.
***
Selalu ada sensasi tersendiri ketika melihat jumlah viewer pada artikel yang kutulis sendiri. Semacam rasa haru ketika melihat jumlahnya mencapai angka seratus lebih. Ya...memang kecil dibandingkan jumlah viewer pada artikel yang lainnya, namun setidaknya jumlahnya jauh lebih besar dari pengunjung di blogku ini hahahah. Pun ada rasa cemas, bertanya kira-kira apa respon mereka setelah membaca tulisanku itu? Sebuah pertanyaan yang sepertinya akan abadi dalam diam tanpa jawaban...karena nggak tahu siapa saja orang yang membaca dan membagikannya.
***
Dan mumpung belum lupa, inilah beberapa tulisanku yang dimuat di Majalah UMMI Online dan Annida Online

http://annida-online.com/merdeka.html
http://www.ummi-online.com/surga-itu-bernama-tumpak-sewu.html
http://www.ummi-online.com/hal-yang-harus-dipersiapkan-untuk-menunaikan-ibadah-haji.html



Jumat, 03 Juli 2015

(SEMACAM) KEMBALI MENGEJAR MIMPI

Siang itu... 1 Juli 2015
Ah bahkan aku masih ingat jamnya 13.10 WIB,seorang sahabatku si Wawat mengirimkan sebuah pesan via Whatsapp.
"Mba Rif, jadi ngirim? Ditutup tanggal 3...eh jam 3 ini."

Malas aku membacanya. Merasa ah sudahlah sepertinya memang harus melewatkan kesempatan lagi...seperti yang sudah-sudah.
Namun, entahlah...tiba-tiba ide itu datang menjelang menit-menit terakhir. Hingga tanpa perlu menunggu lama, segera saja kubiarkan jari menari dengan incah merangkai kata.

Tepat pukul 14.30 WIB, tulisan singkatku selesai dikirim.

Ada sebuah perasaan lega...ketika telah berhasil mengalahkan rasa malas yang selama ini memang menjadi musuh terbesar. Tak peduli apapun hasilnya nanti, yang ada di benakku saat itu adalah "Nulis" aja. Mengeluarkan semua kata-kata yang masih terperangkap di dalam otak ini.

Hingga beberapa saa kemudian...sebuah nomor asing mengirimkan pesan lewat whatsapp.
Pesan itu mengabarkan, aku diterima menjadi anggota Komunitas UMMI Menulis...Yiiiiipppppppiiiii

Ingin loncat-loncat sebenarnya...tapi teringat sedang puasa hehehe pun tak ingin terlihat seperti orang gila, loncat-loncat saat jam kerja.

***
"Biar Mbak Rif bisa produktif nulisnya..." Jelas Wawat, ketika kuucapkan terimakasih atas ajakannya untuk ikut mendaftar menjadi anggota Komunitas Ummi Menulis. Ah...andai saja rasa malas itu kembali menang, tentu akan kulewatkan berada di tengah-tengah penulis-penulis produktif di sana.

dan siang ini sebuah kejutan kembali menyapaku... Tulisan yang kukirim di muat di UMMI Online.
Tulisan sederhana yang insyaAllah akan menjadi awal bagiku untuk kembali mengejar mimpi itu. Menjadi seorang perangkai kata...menjadi penulis

http://www.ummi-online.com/menjadi-insan-ramadhani-salahkah.html

***


Senin, 25 Mei 2015

Lelaki di Balik Lensa

Dia, lelaki di balik lensa
Memicingkan mata,
Membidik objek agar terekam kamera
Dia, lelaki di balik lensa
Jemarinya bergerak lincah
Menyimpan setiap momen dalam potretnya
Duhai...dia lelaki di balik lensa
Menuturkan kisah melalui gambarnya
Tanpa perlu banyak berkata
Tanpa perlu menuliskannya
Cukup tunjukkan rekaman lensa
Dan kau kan tau apa yang hendak disampaikannya.
Dia, lelaki di balik lensa
Memang belum kukenal terlalu lama
Bersua pun tak pernah
Hanya lewat jari, kusapa dia
Namun darinya kutahu apa itu berkah
Membuka mata
Menguak banyak ilmu yang tak kuperoleh sebelumnya
***
Dia...lelaki di balik lensa
Kini tlah diam seribu bahasa
Tanpa cerita
Tanpa taujih penguat jiwa
Entah
Mungkin sudah lelah
Atau alasan lain yang tak pantas kutanya-tanya
Ya...dialah lelaki di balik lensa
Sejatinya selalu menyimpan sebuah misteri yang ingin kutanya
Namun, tlah kuputuskan tuk membungkam mulut ini saja
Membiarkan semua berjalan sesuai skenario Sang Sutradara..
Membiarkan lensanyalah yang bercerita...
Menjawab tanya.
Duhai...lelaki di balik lensa...
Usah marah-marah
Berkata lemah lembutlah
Jika wanita mengusikmu dengan cerita-ceritanya
Dengan keluh kesahnya
Dengan sejuta kalimat tanyanya tongue emotikon
***
Mungkin kita memang belum sempat berjumpa
Tapi hey...siapa tahu kelak bertetangga di jannah ^^


14 Mei 2015
(fiksi? entahlah)

Selasa, 19 Mei 2015

JALAN PANJANG HIDAYAH ITU

“Yang masih pakai baju lengan pendek, mulai sekarang coba pakai baju lengan panjang. Trus yang udah pakai baju lengan panjang, nunggu apalagi...kenapa nggak sekalian pakai jilbab.”
Kata-kata yang tampaknya sangat sederhana itulah yang menjadi titik awal perubahanku. Kalimat yang meluncur tulus dari seorang dosen mata kuliah agama, ketika aku masih semester satu dulu. Entah mengapa, meskipun mungkin  pesan itu disampaikan untuk semua mahasiswa yang menyesaki ruang kuliah, namun mendadak aku merasa Allah sebenarnya hanya menegurku. Saat itu aku hanya bisa tertunduk malu. Inikah waktunya untuk berubah?
***
Sejatinya, ketika kita telah berikrar untuk taat pada Sang Maha Indah,  semua perintah-Nya harus dijalani tanpa perlu dipilah-pilah bukan? Namun, itulah yang terjadi denganku. Menunda-nunda perintah Allah untuk menutup auratku.
Ah ya aku teringat saat mendaftar SMA dulu. Nenek bertanya kenapa aku tidak memilih membeli baju seragam yang berjilbab saja? Aku hanya menggeleng. Meski sebenarnya jauh di dasar hati ini, ingin sekali mengenakan seragam berjilbab itu meski belum tahu benar apa artinya. Namun, kondisi ekonomi keluarga yang saat itu baru saja terkena badai (aku menyebutnya demikian karena memang telah membalikkan keadaan, dari mewah mendadak jatuh tak punya apa-apa), jadi kusimpan saja keinginan itu. Terlebih saat melihat nominal yang tertera di bawah keterangan seragam berjilbab, lebih mahal dari harga seragam biasa.
Pikirku saat itu, mungkin dari sekarang kalau ibu akan membelikan baju, aku bisa meminta baju berlengan panjang saja. Hitung-hitung sebagai tabungan jika nanti aku telah mantap berhijab, yang entah kapan masih belum bisa kupastikan.
Tahun berganti, stok baju panjangku kurang dari sepuluh. Pun keinginan untuk berhijab seakan ikut lenyap terbang bersama debu. Ya... keinginan itu menguap karena aku salah mengartikan bahwa berhijab bisa saja mengurangi ruang gerakku sebagai pemain teater sekolah. Masak main teater pake jilbab? Kalau pas dapet peran jadi preman gimana? Begitu pikirku. Dan tentu saja itu alasan yang sangat dibuat-buat kan? Alasan yang membuatku menunda-nunda titah Rabb-ku
Namun, sungguh Allah Maha Pengasih. Allah masih mengasihi dan sangat sangat menyayangi diri ini meski, aku “mencoba” lalai dari perintah-Nya tapi Allah terus memberikan nikmat yang tak pernah kusadari. Lihatlah nilai-nilaiku selama SMA selalu tinggi, pun akhirnya aku bisa masuk Universitas Negeri melalu jalur prestasi. Tapi, telinga ini masih tuli tentang seruannya untuk segera menutup aurat ini.
Hingga ketika mata kuliah agama saat itulah kupikir Allah membelaiku. Menyadarkanku kembali akan niat ini untuk berhijab.
***
Ketika hati sudah terketuk, ketika hidayah itu telah datang. Bahkan setitik keraguan pun seakan sungkan untuk sekedar menyapa. Ya... tepat pada H+ 2 idul fitri tahun 2005, kuambil khimar berwarna biru tosca yang serasi dengan baju biru pemberian kakakku. Bismillah...tangan ini bergerak dengan lihai menutup rambut dengan khimar biru. Seakan telah terlatih bertahun-tahun memasangkannya di kepalaku. Kukaitkan peniti dengan cepat agar rasa ragu mampir pun tak akan sempat. Dan...inilah aku dengan penampilan baruku.
Awalnya ibu dan kakak-kakakku hanya berpikir aku berjilbab karena masih dalam momen lebaran. Namun setelah kuutarakan niatku untuk terus berjilbab, Allah memberiku hadiah lagi. Ibuku pun memutuskan untuk berjilbab, “Masak anaknya pakai jilbab Ibunya nggak.” Begitu kata beliau. Bagiku alasan apapun itu tak penting lagi, saat melihat ibu yang mulai belajar untuk memperbaiki diri bersama-sama denganku.
Dan alasanku menunda-nunda berjilbab karena belum ada stok baju lengan panjang pun terpatahkan. Entah darimana datangnya atau memang sudah ada disana sejak lama, stok baju panjang yang kukhawatirkan kini melimpah, menyesaki lemari pakaian. Sungguh benar, ketika kita mendekat kepada Allah dengan berjalan kaki, Allah akan mendekat dengan berlari.
***
Hijab ini memang telah kupakai sejak 2005, namun sayang aku masih belum tahu apa maknanya? Kupikir sekedar saran, sunnah, bukan sebuah kewajiban yang seharusnya kukerjakan sejak lama.
Ya...meski telah berhijab, jiwa ini kosong.  Fakir ilmu. Hingga dentuman ujian terus menerus merongrongku. Mulai dari menjadi pemegang rekor pengangguran selama setahun, hingga satu lagi cobaan dahsyat yang menggoyahkan sendi-sendi keutuhan keluargaku.
Jilbab memang masih aku kenakan, tapi hati ini terasa semakin jauh dari Tuhan. Ujian cinta dari Allah bukannya kusambut dengan kesabaran, tetapi dengan kemarahan. Ya...bukankah aku sudah berhijab, sholat pun tak pernah kutinggalkan, puasa ramadhan selalu kujalankan. Namun, kenapa ujian ini terus menerus datang dan membuatku merasa semakin tak sanggup meski sekedar tegakkan badan?
***
Ketika aku berpikir sudah tidak ada jalan untuk keluar dari keterpurukan. Ketika beban terasa sangat berat dipikul sendirian. Saat itulah kurasakan Allah tunjukkan jalan. Memberiku sebuah pemahaman.
Saat itu seorang teman di dunia maya menyadarkanku bahwa masa remajaku dulu sungguh penuh dengan kesia-siaan. Bagaimana tidak, lihatlah usianya jauh lebih muda dariku, belum menyentuh angka dua puluh. Namun, pengetahuan tentang agama yang dimilikinya jauh diatasku. Bahkan aku belajar darinya, bertanya tentang hal-hal yang belum kupahami artinya.
Khimar panjangnya mengusik rasa ingin tahuku lebih dalam. Perlukah memakai khimar selebar dia? Tak cukupkah hanya menutup rambut saja?
“Kan kaki termasuk aurat juga Mbak.” Jawabnya ketika kutanya perlukah memakai kaos kaki segala. Astaghfirullah...sudah sekian lama aku menutup aurat dengan jilbab, namun aku belum tahu bagian mana saja yang harus kututup sempurna.
Rasa malu menyergapku. Sudah terlambatkah aku belajar untuk lebih dekat dengan penciptaku?
Sungguh, aku tak akan pernah bosan menyebut ini. Bahwa jika kita mendekati Allah dengan berjalan kaki, maka Allah akan mendekat dengan berlari.
Ya...tidak lama setelah itu aku bergabung dengan sebuah komunitas menulis di kotaku. Disanalah Allah membukakan jalan itu. Bertemu dengan seorang teman berhijab lebar membuatku memberanikan diri mengutarakan niatku untuk belajar agama lebih dalam lagi. Kusampaikan keinginanku untuk memperbaiki diri ini.
***
Dan disinilah aku sekarang, mencapai titik pemahaman tentang berhijab. Bukan sekedar menutup aurat, namun membenahi diri untuk terus berada di jalan yang diridhoi. Dengan berhijab bukan berarti kewajibanku tuntas, justru ini adalah sebuah awal untuk membuktikan sebesar apa  baktiku, cintaku untuk Rabb-ku.
Dan itulah kisahku, butuh waktu panjang untuk paham. Bagaimana denganmu? Masihkah menunggu ujian maha dahsyat baru nyatakan taat?(pm)

Rifka Fatmawati - Jember
(Peserta LNN 2014)


#AYTKTM LINGKARAN CINTA MURABBI

            Assalamualaikum. Ukhtifillah insyaAllah liqo sore ini jam 3 di rumah ana. Semoga Allah memudahkan langkah kaki kita.


Kubaca lagi sebuah pesan dari murabbi yang mengingatkan tentang jadwal liqo. Jariku mengambang diatas tombol-tombol handphone saat hendak membalas pesan itu. Ragu menjawab pesannya, karena awan mulai tampak pekat, seakan sudah tak sanggup untuk segera memuntahkan air dari langit. Rasa enggan untuk keluar rumah perlahan muncul. Ini musim hujan dan hari minggu juga, lebih baik kalau istirahat di rumah saja apalagi senin besok harus kerja.

“Hari ini liqo jam berapa?” suara lembut ibu buyarkan lamunan.
“Jam tiga, Bu,” jawabku setengah enggan.

“Jas hujannya sudah Ibu taruh disamping motormu.” Deg. Kalimat sederhana dari Ibu membuatku tersadar akan satu hal. Biasanya ketika mendung pekat dan aku ijin untuk pergi ke rumah teman, ibu selalu melarang dengan halus... “Sebaiknya di rumah saja, sebentar lagi hujan deras.” Begitu kata beliau, meski beberapa saat kemudian hanya rintik hujan yang datang. Namun sekarang... gumpalan-gumpalan awan serupa asap kebakaran yang pekat tidak membuat ibu melarangku justru mengingatkan untuk membawa jas hujan. Pasti ini karena ibu tahu ada kesempatan menyerap ilmu disana, yang sayang jika dilewatkan hanya karena hujan.
Tanpa pikir panjang lagi segera kutulis pesan balasan.

Waalaikumsalam. Iya Mbak...insyaAllah bisa datang.

***
Gulungan awan masih gelap ketika kumantapkan hati untuk tetap pergi. Tiba-tiba teringat saat pertama kali memutuskan menimba ilmu melalui lingkaran cinta ini. Hampir setahun yang lalu, saat pertama kali bertemu murabbi....

“Dulu liqo dimana Dek?”
“Belum pernah ikut liqo sama sekali Mbak.”
“Oh...ikut rohis waktu kuliah atau SMA?” lagi-lagi kujawab dengan gelengan.
“Boleh kan Mbak, meski belum pernah ikut rohis sebelumnya?” tanyaku polos.
“Ya boleh Dek.” Senyumnya mengembang, menenangkan.

Dan ditengah-tengah obrolan perkenalan kami itu tiba-tiba seorang gadis kecil menyela...
“Bunda...mau minum susu.” Rengeknya, sepertinya dia baru saja bangun dari tidur siangnya.
“Sini dulu, kenalan sama Ammah...” Mata mungilnya memandangku asing. Nampak enggan menghampiriku. “Sebentar ya Dek, ana tinggal dulu.” Pamit murabbiku.

Ammah? Aku mengeja kata itu berkali-kali. Kata asing, selama ini aku hanya tahu ana, antum, anti, afwan, akhwat, dan akhi.  Hmm...nanti akan kutanyakan.

Tidak lama berselang bocah laki-laki keluar dari kamar membuyarkan lamunanku. Usianya tak jauh beda dengan anak perempuan tadi, sekitar dua tahun lebih. Mungkin karena melihat kakaknya sedang minum susu, dia pun merengek meminta dibuatkan susu juga. Aku sedikit geli melihat tingkah mereka, murabbiku pun tersenyum karena ulah buah hatinya. Namun, rasa kagum perlahan menyusup dalam dada... hey lihat, murabbiku ternyata sedang hamil tua. Pantas saja saat duduk dan bangun tadi terlihat sangat berhati-hati. Nyaris lolos dari penglihatanku saat tiba disini tadi, karena perutnya yang mulai membesar tersamar oleh khimar panjang. Entah bagaimana repotnya, mengurus dua bocah yang sedang aktif-aktifnya itu ketika sedang hamil besar. 

“Ini gimana liqo-nya kalau banyak jagoan-jagoan kecil seperti ini.” Gumamku dalam hati. Dan pertanyaanku pun terjawab dari awal liqo hingga hampir setahun ini. Sungguh, sebuah potret yang akan kusimpan dan kujadikan contoh ketika sudah menikah nanti.
***
Sejatinya hanya butuh waktu kurang dari lima belas menit untuk sampai ke rumah murabbi. Namun, mungkin karena melihat kantong langit yang seakan sudah dipenuhi air itu membuat perjalanan terasa sangat lama. 

Ya Allah...jika dengan ikut liqo ini adalah jalan yang benar, jalan yang bisa mendekatkanku pada-Mu. Tolong Ya Allah, ijinkan aku sampai ke rumah murabbi-ku sebelum hujan sempurna turun.” Kulangitkan pinta selama dalam perjalanan, berharap turunnya hujan bisa tertunda sebentar.

Kemudian, tiba-tiba sebuah rasa bersalah menyelinap. Hampir saja aku tidak datang liqo, hanya karena mendung pekat, hanya mendung belum hujan lebat. Manja sekali bukan? Padahal murabbi-ku menyediakan waktu untuk mentransfer ilmu meski sering diinterupsi bocah-bocah kecil itu.

Ya...aku pun begitu kagum pada sosoknya. Waktu itu, ketika murabbi sedang memberikan materi, anak perempuannya mulai manja. Tanpa ragu disandarkan kepala mungil itu di pangkuan bundanya, murabbiku. Anak laki-lakinya pun seperti tak ingin kalah, dipeluknya sang bunda dari belakang dan berkata, “Bunda...gendong.” Murabbiku tersenyum, aku pun juga dan berpikir, sepertinya liqo hari ini akan dipersingkat melihat betapa repotnya beliau. Tapi apa yang terjadi, beliau tetap melanjutkan materi, meski dengan menggendong bocah kecil itu di punggungnya. 

Serabut halus menjalar dalam dada ketika melihat peristiwa itu. Terlihat sepele memang, namun membekas begitu kuat dalam ingatan. Bagaimanapun juga beliau adalah seorang ibu dari dua orang bocah kecil yang masih sangat manja. Namun, semangatnya untuk mentransfer ilmu juga tak kalah luar biasa. Beliau pernah berkata...

“Afwan ya Dek, kalau liqo disini sering banyak “iklan”nya.” Ya...memang seperti iklan karena kadang ketika beliau sedang serius menjelaskan atau diskusi si kecil menginterupsi. “Bunda mau minum susu....Bunda mau makan. Bunda mau ini...mau itu...” Namun, tanpa disadari justru itulah yang membuat nilai lebih berada di lingkaran ini. Murabbiku bukan sekedar memberikan materi, tetapi juga secara tidak langsung memberikan sebuah contoh tentang perannya sebagai ibu sekaligus sebagai guru.

Sungguh, semangatnya sangat luar biasa.

Bahkan ketika anak ketiganya lahir, pikirku akan ada murabbi pengganti. Tapi, tentu saja tidak. Meski harus menggendong bayinya, menenangkan dua buah hatinya yang kadang bertengkar, liqo jalan terus, setor hafalan tetap lanjut. Tak pernah terlihat ada gurat lelah di wajahnya. 

Ah ya...aku pun ingat kejadian beberapa bulan yang lalu. Saat aku datang terlambat dan hari sudah panas menyengat. Liqo hari itu sudah usai, teman-temanku pun sudah lama pulang. Tentu itu waktu yang tepat untuk beristirahat, bukan?    
“Mbak...maaf telat.” Sesalku. “Sudah selesai ya Mbak?”
            “Nggak apa-apa kok Dek, kita  bisa mulai lagi.”
Liqo sesi kedua. Ya...dengan sabar murabbiku menjelaskan lagi materi hari itu. Runtut, tanpa terburu-buru. Meski waktu istirahatnya harus “tertunda” lagi karena kelalaianku.
Lagi. Rasa malu menyergapku.
***
Rumah murabbi tinggal beberapa meter lagi, ketika angin kencang seakan mendorong motorku untuk segera sampai. Namun, hati ini tak henti berdo’a sedari tadi, yakin bahwa jalan ini diridhoi. Benar saja, ketika baru sampai di rumah murabbiku, hujan deras seketika tumpah. Seolah langit lega karena sedari tadi masih menungguku sampai rumah murabbi sebelum menumpahkannya. Dan kedatanganku disambut hangat murabbi yang sedang menggendong anak ketiganya.

Kalau murabbiku saja punya prinsip #AYTKTM seharusnya aku juga. Apapun yang terjadi kami tetap mengaji. Tetap berada di lingkaran cinta ini.
***
           

Rifka Fatmawati


[Lomba #AYTKTM] Alhamdulillah juara 1 ^^


Rabu, 15 April 2015

KEJUTAN (LAGI)

 Kejutan...siapa yang tidak suka dengan kejutan terlebih yang menyenangkan. Pun seperti itu denganku, ketika Allah selalu memberikan kejutan sejak akhir tahun lalu. Hingga tak jarang bening meluruh saat sadar kejutan ini adalah jawaban dari segala tanya dan do'aku.

#Kejutan_Pertama

 Dulu, seorang sahabat selalu berkata tentang "Pencairan" dalam bersikap yang tanpa sadar mengikis perlahan batas antara pria dan wanita. Entah apa yang dia maksud dengan "terlalu mencair", aku gagal paham pun enggan bertanya panjang. Meski, kata-kata itu terus menerus mengendap dalam alam bawah sadar...berharap untuk segera diberikan sedikit penjelasan.

 Hingga tahun pun berganti dan tak ku dengar sedikit pun kabar dari sahabatku itu lagi (Ahh...semoga dia selalu bahagia dengan keluarga barunya). Allah akhirnya menjawab kegundahanku selama ini dari sebuah materi yang disampaikan ustadzahku sore itu. Sebuah nasehat yang membuatku tertunduk dalam, menahan malu atas kesalahan masa lalu. "Tamayyu' atau pencairan..." ucap ustadzah membuat sebuah memori lama kembali muncul. 

 Ya...kita kadang nggak sadar, sedang berbicara dengan lawan jenis tanpa batasan, karena terlalu asyik bercanda hingga lupa kontrol. Biasanya akan berlanjut muncul virus merah jambu. Bukannya nggak boleh jatuh cinta, boleh banget karena itu adalah fitrah manusia. Namun, tentu jangan sampai virus jatuh cinta itu membuat kita lupa bahwa ada batasan yang harus dijaga hingga kata "Sah" terucap saat akad nikah. Benar...dulu aku dan sahabatku itu pernah salah, kami telah terjebak oleh virus tamayyu' yang menghancurkan semuanya. Berawal dari teman, berlanjut saling bercerita bahkan seringkali tertawa hingga akhirnya sadar bahwa "Pencairan" ini terlalu sakit rasanya. Mengorbankan persahabatan yang telah terjalin lama.

 dear...sahabat. Kini aku paham mengapa kau menjauh dulu. Kau tengah menyelamatkan diri dan aku, menyelamatkan hati agar tetap terjaga bersih. Bukannya tak sayang, hanya takut akan dosa yang kelak kan dipertanggungjawabkan. Apalagi kini tlah kusaksikan sebuah skenario indah Illahi, bahwa kau bukanlah dia yang selama ini kunanti...ah sungguh jika dulu tak kita sudahi, mungkin pencairan ini akan lebih sakit lagi.

 Ya Rabb...bantu aku agar mampu menjaga hati hingga dia yang Kau tuliskan datang menjemput dan menyudahi penantian panjang ini.

***
#Kejutan_Kedua

 Sejak berteman dengan para mahasiswa yang super aktif, timbul sebersit sesal di hati. Beruntung sekali mereka yang memanfaatkan masa mudanya dengan melakukan banyak kegiatan positif. Berdakwah, berorganisasi, menjalankan hobi tanpa melupakan prestasi akademiknya. Beruntungnya mereka yang masih punya banyak energi untuk wujudkan mimpi. 

Ah...apakabar aku dulu? 

 Sungguh miris karena minim prestasi. Pun kuliah hanya dijadikan rutinitas tanpa ada semangat yang menyertai. Semua karena ego diri, sebagai bentuk protes karena tak diijinkan memilih Fakultas yang telah lama menjadi mimpi. 

 Namun, sekali lagi Allah memberikanku kejutan. Ditengah rasa sesal tlah sia-siakan masa muda dengan menjalani hidup super biasa-biasa saja...tanpa mimpi, tanpa ambisi. Allah memberiku peluang untuk menebus sesal masa silam.

 Seorang teman memberikan tawaran menggiyurkan...ikut menyumbangkan tulisan di sebuah majalah dakwah yang baru dirintis. Memang ini bukan majalah skala nasional, pun peranku hanya mencatat materi kajian bulanan untuk dimuat di majalah edisi bulan mendatang, kisah inspirasi dan membuat beberapa pertanyaan untuk rubrik tanya jawab ustadzah. Namun, lagi-lagi benar apa yang orang katakan bahwa bahagia itu sederhana...ya sesederhana itu, bahagia ketika mendapatkan kesempatan bergabung dengan orang-orang penuh semangat seperti mereka. Membuatku kembali berani bermimpi.

Hey...apakah aku bilang diminta menulis untuk majalah? 
Baru aku sadar, ini wujud dari mimpi kecilku dulu. Dulu aku bermimpi ingin terlibat dalam majalah sekolah, meski sayang saat impian itu nyaris terwujud...majalah sekolahku gagal terbit di edisi perdananya. 
Kini...mimpi itu pun terbayar. Allah Maha Baik...wujudkan mimpi yang bahkan nyaris kulupakan kini.

***
#Kejutan_Ketiga

 Masih ada lagi??? Yup...tentu saja. 

5 April 2015, sebuah kejutan yang jujur sebenarnya kalau bisa...kutolak saja.
Organisasi Kepenulisan Cabang Jember yang kuikuti telah memutuskan memberiku sebuah amanah lebih. Tidak cukup berada di posisi kaderisasi seperti selama ini...mereka memberiku amanah untuk menjadi...ehem

 PUCUK PIMPINAN ORGANISASI.

Spontan kuucapkan innalillahi wa innailaihi rojiun. Kejutan ini terasa sebagai beban yang luar biasa berat. Rasa ragu terus menerus hinggap. Mampukah aku yang miskin prestasi nulis ini menjadi pemimpin bagi mereka? Aku yang miskin pengalaman organisasi kini diberi amanah memimpin sebuah organisasi kepenulisan. 

 Tentu saja...setelah acara pemilihan ketua dan pulang ke rumah pikiran ini tak tenang. Memikirkan, apa yang harus aku lakukan, program kerja apa yang akan kujalankan dua tahun kedepan. pun pikiran semakin tak tenang ketika membuka FB...

 Ucapan selamat tak henti mengalir, menyesaki notifikasi. Mulai dari teman, belum menjadi teman, hingga penulis senior pun memberikan do'a agar aku mampu menjalankan amanah. Dan...ya...ya...ya...aku demam, ketika salah seorang pendiri organisasi ini memberikan ucapan selamat dan do'anya.

 Hanya merasa..."Oh sudahlah, jangan terlalu berharap dengan kemampuan diri ini. Oh sudahlah berhenti memanggil saya ketua atau sebutan apapun itu namanya..." Gigil ini seakan semakin menjadi-jadi saat seorang mantan ketua organisasi (cabang) ini berkata penuh pengharapan, "Saya menunggu karyamu ada di halaman media massa nasional." 

 Ya Rabb...amanah ini semoga juga menjadi pelecut diri untuk berprestasi. Menyusun kembali sebuah mimpi.

Ada sebuah pesan dari sahabatku, si Wawat... 

Ah...terimakasih Nduk (Nduk? ya karena dia wanita hahah), kata-katamu menenangkan. Do'akan terus agar aku mampu menjalankan amanah ini.

***
#Kejutan_Kejutan_Berikutnya

 Entahlah...semoga saja kejutan berikutnya adalah tentang kepastian berakhirnya penantian ini. Aamiin...AAMIIN...AAMIIN... (Kencengin do'a.......)