Selasa, 19 Mei 2015

#AYTKTM LINGKARAN CINTA MURABBI

            Assalamualaikum. Ukhtifillah insyaAllah liqo sore ini jam 3 di rumah ana. Semoga Allah memudahkan langkah kaki kita.


Kubaca lagi sebuah pesan dari murabbi yang mengingatkan tentang jadwal liqo. Jariku mengambang diatas tombol-tombol handphone saat hendak membalas pesan itu. Ragu menjawab pesannya, karena awan mulai tampak pekat, seakan sudah tak sanggup untuk segera memuntahkan air dari langit. Rasa enggan untuk keluar rumah perlahan muncul. Ini musim hujan dan hari minggu juga, lebih baik kalau istirahat di rumah saja apalagi senin besok harus kerja.

“Hari ini liqo jam berapa?” suara lembut ibu buyarkan lamunan.
“Jam tiga, Bu,” jawabku setengah enggan.

“Jas hujannya sudah Ibu taruh disamping motormu.” Deg. Kalimat sederhana dari Ibu membuatku tersadar akan satu hal. Biasanya ketika mendung pekat dan aku ijin untuk pergi ke rumah teman, ibu selalu melarang dengan halus... “Sebaiknya di rumah saja, sebentar lagi hujan deras.” Begitu kata beliau, meski beberapa saat kemudian hanya rintik hujan yang datang. Namun sekarang... gumpalan-gumpalan awan serupa asap kebakaran yang pekat tidak membuat ibu melarangku justru mengingatkan untuk membawa jas hujan. Pasti ini karena ibu tahu ada kesempatan menyerap ilmu disana, yang sayang jika dilewatkan hanya karena hujan.
Tanpa pikir panjang lagi segera kutulis pesan balasan.

Waalaikumsalam. Iya Mbak...insyaAllah bisa datang.

***
Gulungan awan masih gelap ketika kumantapkan hati untuk tetap pergi. Tiba-tiba teringat saat pertama kali memutuskan menimba ilmu melalui lingkaran cinta ini. Hampir setahun yang lalu, saat pertama kali bertemu murabbi....

“Dulu liqo dimana Dek?”
“Belum pernah ikut liqo sama sekali Mbak.”
“Oh...ikut rohis waktu kuliah atau SMA?” lagi-lagi kujawab dengan gelengan.
“Boleh kan Mbak, meski belum pernah ikut rohis sebelumnya?” tanyaku polos.
“Ya boleh Dek.” Senyumnya mengembang, menenangkan.

Dan ditengah-tengah obrolan perkenalan kami itu tiba-tiba seorang gadis kecil menyela...
“Bunda...mau minum susu.” Rengeknya, sepertinya dia baru saja bangun dari tidur siangnya.
“Sini dulu, kenalan sama Ammah...” Mata mungilnya memandangku asing. Nampak enggan menghampiriku. “Sebentar ya Dek, ana tinggal dulu.” Pamit murabbiku.

Ammah? Aku mengeja kata itu berkali-kali. Kata asing, selama ini aku hanya tahu ana, antum, anti, afwan, akhwat, dan akhi.  Hmm...nanti akan kutanyakan.

Tidak lama berselang bocah laki-laki keluar dari kamar membuyarkan lamunanku. Usianya tak jauh beda dengan anak perempuan tadi, sekitar dua tahun lebih. Mungkin karena melihat kakaknya sedang minum susu, dia pun merengek meminta dibuatkan susu juga. Aku sedikit geli melihat tingkah mereka, murabbiku pun tersenyum karena ulah buah hatinya. Namun, rasa kagum perlahan menyusup dalam dada... hey lihat, murabbiku ternyata sedang hamil tua. Pantas saja saat duduk dan bangun tadi terlihat sangat berhati-hati. Nyaris lolos dari penglihatanku saat tiba disini tadi, karena perutnya yang mulai membesar tersamar oleh khimar panjang. Entah bagaimana repotnya, mengurus dua bocah yang sedang aktif-aktifnya itu ketika sedang hamil besar. 

“Ini gimana liqo-nya kalau banyak jagoan-jagoan kecil seperti ini.” Gumamku dalam hati. Dan pertanyaanku pun terjawab dari awal liqo hingga hampir setahun ini. Sungguh, sebuah potret yang akan kusimpan dan kujadikan contoh ketika sudah menikah nanti.
***
Sejatinya hanya butuh waktu kurang dari lima belas menit untuk sampai ke rumah murabbi. Namun, mungkin karena melihat kantong langit yang seakan sudah dipenuhi air itu membuat perjalanan terasa sangat lama. 

Ya Allah...jika dengan ikut liqo ini adalah jalan yang benar, jalan yang bisa mendekatkanku pada-Mu. Tolong Ya Allah, ijinkan aku sampai ke rumah murabbi-ku sebelum hujan sempurna turun.” Kulangitkan pinta selama dalam perjalanan, berharap turunnya hujan bisa tertunda sebentar.

Kemudian, tiba-tiba sebuah rasa bersalah menyelinap. Hampir saja aku tidak datang liqo, hanya karena mendung pekat, hanya mendung belum hujan lebat. Manja sekali bukan? Padahal murabbi-ku menyediakan waktu untuk mentransfer ilmu meski sering diinterupsi bocah-bocah kecil itu.

Ya...aku pun begitu kagum pada sosoknya. Waktu itu, ketika murabbi sedang memberikan materi, anak perempuannya mulai manja. Tanpa ragu disandarkan kepala mungil itu di pangkuan bundanya, murabbiku. Anak laki-lakinya pun seperti tak ingin kalah, dipeluknya sang bunda dari belakang dan berkata, “Bunda...gendong.” Murabbiku tersenyum, aku pun juga dan berpikir, sepertinya liqo hari ini akan dipersingkat melihat betapa repotnya beliau. Tapi apa yang terjadi, beliau tetap melanjutkan materi, meski dengan menggendong bocah kecil itu di punggungnya. 

Serabut halus menjalar dalam dada ketika melihat peristiwa itu. Terlihat sepele memang, namun membekas begitu kuat dalam ingatan. Bagaimanapun juga beliau adalah seorang ibu dari dua orang bocah kecil yang masih sangat manja. Namun, semangatnya untuk mentransfer ilmu juga tak kalah luar biasa. Beliau pernah berkata...

“Afwan ya Dek, kalau liqo disini sering banyak “iklan”nya.” Ya...memang seperti iklan karena kadang ketika beliau sedang serius menjelaskan atau diskusi si kecil menginterupsi. “Bunda mau minum susu....Bunda mau makan. Bunda mau ini...mau itu...” Namun, tanpa disadari justru itulah yang membuat nilai lebih berada di lingkaran ini. Murabbiku bukan sekedar memberikan materi, tetapi juga secara tidak langsung memberikan sebuah contoh tentang perannya sebagai ibu sekaligus sebagai guru.

Sungguh, semangatnya sangat luar biasa.

Bahkan ketika anak ketiganya lahir, pikirku akan ada murabbi pengganti. Tapi, tentu saja tidak. Meski harus menggendong bayinya, menenangkan dua buah hatinya yang kadang bertengkar, liqo jalan terus, setor hafalan tetap lanjut. Tak pernah terlihat ada gurat lelah di wajahnya. 

Ah ya...aku pun ingat kejadian beberapa bulan yang lalu. Saat aku datang terlambat dan hari sudah panas menyengat. Liqo hari itu sudah usai, teman-temanku pun sudah lama pulang. Tentu itu waktu yang tepat untuk beristirahat, bukan?    
“Mbak...maaf telat.” Sesalku. “Sudah selesai ya Mbak?”
            “Nggak apa-apa kok Dek, kita  bisa mulai lagi.”
Liqo sesi kedua. Ya...dengan sabar murabbiku menjelaskan lagi materi hari itu. Runtut, tanpa terburu-buru. Meski waktu istirahatnya harus “tertunda” lagi karena kelalaianku.
Lagi. Rasa malu menyergapku.
***
Rumah murabbi tinggal beberapa meter lagi, ketika angin kencang seakan mendorong motorku untuk segera sampai. Namun, hati ini tak henti berdo’a sedari tadi, yakin bahwa jalan ini diridhoi. Benar saja, ketika baru sampai di rumah murabbiku, hujan deras seketika tumpah. Seolah langit lega karena sedari tadi masih menungguku sampai rumah murabbi sebelum menumpahkannya. Dan kedatanganku disambut hangat murabbi yang sedang menggendong anak ketiganya.

Kalau murabbiku saja punya prinsip #AYTKTM seharusnya aku juga. Apapun yang terjadi kami tetap mengaji. Tetap berada di lingkaran cinta ini.
***
           

Rifka Fatmawati


[Lomba #AYTKTM] Alhamdulillah juara 1 ^^


Tidak ada komentar:

Posting Komentar