Assalamualaikum. Ukhtifillah insyaAllah
liqo sore ini jam 3 di rumah ana. Semoga Allah memudahkan langkah kaki kita.
Kubaca lagi sebuah pesan dari murabbi yang mengingatkan
tentang jadwal liqo. Jariku mengambang diatas tombol-tombol handphone saat
hendak membalas pesan itu. Ragu menjawab pesannya, karena awan mulai tampak
pekat, seakan sudah tak sanggup untuk segera memuntahkan air dari langit. Rasa
enggan untuk keluar rumah perlahan muncul. Ini musim hujan dan hari minggu
juga, lebih baik kalau istirahat di rumah saja apalagi senin besok harus kerja.
“Hari ini liqo jam berapa?” suara lembut ibu buyarkan
lamunan.
“Jam tiga, Bu,” jawabku setengah enggan.
“Jas hujannya sudah Ibu taruh disamping motormu.” Deg.
Kalimat sederhana dari Ibu membuatku tersadar akan satu hal. Biasanya ketika
mendung pekat dan aku ijin untuk pergi ke rumah teman, ibu selalu melarang
dengan halus... “Sebaiknya di rumah saja, sebentar lagi hujan deras.” Begitu
kata beliau, meski beberapa saat kemudian hanya rintik hujan yang datang. Namun
sekarang... gumpalan-gumpalan awan serupa asap kebakaran yang pekat tidak
membuat ibu melarangku justru mengingatkan untuk membawa jas hujan. Pasti ini
karena ibu tahu ada kesempatan menyerap ilmu disana, yang sayang jika
dilewatkan hanya karena hujan.
Tanpa pikir panjang lagi segera kutulis pesan balasan.
Waalaikumsalam. Iya Mbak...insyaAllah bisa
datang.
***
Gulungan awan masih gelap ketika kumantapkan hati untuk tetap
pergi. Tiba-tiba teringat saat pertama kali memutuskan menimba ilmu melalui
lingkaran cinta ini. Hampir setahun yang lalu, saat pertama kali bertemu
murabbi....
“Dulu liqo dimana Dek?”
“Belum pernah ikut liqo sama sekali Mbak.”
“Oh...ikut rohis waktu kuliah atau SMA?” lagi-lagi kujawab
dengan gelengan.
“Boleh kan Mbak, meski belum pernah ikut rohis sebelumnya?”
tanyaku polos.
“Ya boleh Dek.” Senyumnya mengembang, menenangkan.
Dan ditengah-tengah obrolan perkenalan kami itu tiba-tiba
seorang gadis kecil menyela...
“Bunda...mau minum susu.” Rengeknya, sepertinya dia baru saja
bangun dari tidur siangnya.
“Sini dulu, kenalan sama Ammah...” Mata mungilnya memandangku
asing. Nampak enggan menghampiriku. “Sebentar ya Dek, ana tinggal dulu.” Pamit
murabbiku.
Ammah? Aku mengeja kata itu berkali-kali. Kata asing, selama
ini aku hanya tahu ana, antum, anti, afwan, akhwat, dan akhi. Hmm...nanti akan kutanyakan.
Tidak lama berselang bocah laki-laki keluar dari kamar
membuyarkan lamunanku. Usianya tak jauh beda dengan anak perempuan tadi,
sekitar dua tahun lebih. Mungkin karena melihat kakaknya sedang minum susu, dia
pun merengek meminta dibuatkan susu juga. Aku sedikit geli melihat tingkah
mereka, murabbiku pun tersenyum karena ulah buah hatinya. Namun, rasa kagum
perlahan menyusup dalam dada... hey
lihat, murabbiku ternyata sedang hamil tua. Pantas saja saat duduk dan
bangun tadi terlihat sangat berhati-hati. Nyaris lolos dari penglihatanku saat
tiba disini tadi, karena perutnya yang mulai membesar tersamar oleh khimar
panjang. Entah bagaimana repotnya, mengurus dua bocah yang sedang
aktif-aktifnya itu ketika sedang hamil besar.
“Ini gimana liqo-nya kalau banyak jagoan-jagoan kecil seperti
ini.” Gumamku dalam hati. Dan pertanyaanku pun terjawab dari awal liqo hingga
hampir setahun ini. Sungguh, sebuah potret yang akan kusimpan dan kujadikan
contoh ketika sudah menikah nanti.
***
Sejatinya hanya butuh waktu kurang dari lima belas menit
untuk sampai ke rumah murabbi. Namun, mungkin karena melihat kantong langit
yang seakan sudah dipenuhi air itu membuat perjalanan terasa sangat lama.
“Ya Allah...jika dengan
ikut liqo ini adalah jalan yang benar, jalan yang bisa mendekatkanku pada-Mu.
Tolong Ya Allah, ijinkan aku sampai ke rumah murabbi-ku sebelum hujan sempurna
turun.” Kulangitkan pinta selama dalam perjalanan, berharap turunnya hujan
bisa tertunda sebentar.
Kemudian, tiba-tiba sebuah rasa bersalah menyelinap. Hampir
saja aku tidak datang liqo, hanya karena mendung pekat, hanya mendung belum
hujan lebat. Manja sekali bukan? Padahal murabbi-ku menyediakan waktu untuk
mentransfer ilmu meski sering diinterupsi bocah-bocah kecil itu.
Ya...aku pun begitu kagum pada sosoknya. Waktu itu, ketika
murabbi sedang memberikan materi, anak perempuannya mulai manja. Tanpa ragu
disandarkan kepala mungil itu di pangkuan bundanya, murabbiku. Anak
laki-lakinya pun seperti tak ingin kalah, dipeluknya sang bunda dari belakang
dan berkata, “Bunda...gendong.” Murabbiku tersenyum, aku pun juga dan berpikir,
sepertinya liqo hari ini akan dipersingkat melihat betapa repotnya beliau. Tapi
apa yang terjadi, beliau tetap melanjutkan materi, meski dengan menggendong
bocah kecil itu di punggungnya.
Serabut halus menjalar dalam dada ketika melihat peristiwa
itu. Terlihat sepele memang, namun membekas begitu kuat dalam ingatan.
Bagaimanapun juga beliau adalah seorang ibu dari dua orang bocah kecil yang
masih sangat manja. Namun, semangatnya untuk mentransfer ilmu juga tak kalah
luar biasa. Beliau pernah berkata...
“Afwan ya Dek, kalau liqo disini sering banyak “iklan”nya.”
Ya...memang seperti iklan karena kadang ketika beliau sedang serius menjelaskan
atau diskusi si kecil menginterupsi. “Bunda
mau minum susu....Bunda mau makan. Bunda mau ini...mau itu...” Namun,
tanpa disadari justru itulah yang membuat nilai lebih berada di lingkaran ini.
Murabbiku bukan sekedar memberikan materi, tetapi juga secara tidak langsung
memberikan sebuah contoh tentang perannya sebagai ibu sekaligus sebagai guru.
Sungguh, semangatnya sangat luar biasa.
Bahkan ketika anak ketiganya lahir, pikirku akan ada murabbi
pengganti. Tapi, tentu saja tidak. Meski harus menggendong bayinya, menenangkan
dua buah hatinya yang kadang bertengkar, liqo jalan terus, setor hafalan tetap
lanjut. Tak pernah terlihat ada gurat lelah di wajahnya.
Ah ya...aku pun ingat kejadian beberapa bulan yang lalu. Saat
aku datang terlambat dan hari sudah panas menyengat. Liqo hari itu sudah usai,
teman-temanku pun sudah lama pulang. Tentu itu waktu yang tepat untuk
beristirahat, bukan?
“Mbak...maaf telat.” Sesalku. “Sudah selesai ya Mbak?”
“Nggak
apa-apa kok Dek, kita bisa mulai lagi.”
Liqo sesi kedua. Ya...dengan sabar murabbiku menjelaskan lagi
materi hari itu. Runtut, tanpa terburu-buru. Meski waktu istirahatnya harus
“tertunda” lagi karena kelalaianku.
Lagi. Rasa malu menyergapku.
***
Rumah murabbi tinggal beberapa meter lagi, ketika angin
kencang seakan mendorong motorku untuk segera sampai. Namun, hati ini tak henti
berdo’a sedari tadi, yakin bahwa jalan ini diridhoi. Benar saja, ketika baru
sampai di rumah murabbiku, hujan deras seketika tumpah. Seolah langit lega
karena sedari tadi masih menungguku sampai rumah murabbi sebelum menumpahkannya.
Dan kedatanganku disambut hangat murabbi yang sedang menggendong anak
ketiganya.
Kalau murabbiku saja punya prinsip #AYTKTM
seharusnya aku juga. Apapun yang terjadi kami tetap mengaji. Tetap berada di
lingkaran cinta ini.
***
Rifka
Fatmawati
[Lomba #AYTKTM] Alhamdulillah juara 1 ^^