“Yang masih pakai baju lengan pendek, mulai
sekarang coba pakai baju lengan panjang. Trus yang udah pakai baju lengan
panjang, nunggu apalagi...kenapa nggak sekalian pakai jilbab.”
Kata-kata yang tampaknya sangat sederhana itulah
yang menjadi titik awal perubahanku. Kalimat yang meluncur tulus dari seorang
dosen mata kuliah agama, ketika aku masih semester satu dulu. Entah mengapa,
meskipun mungkin pesan itu disampaikan untuk semua mahasiswa yang
menyesaki ruang kuliah, namun mendadak aku merasa Allah sebenarnya hanya
menegurku. Saat itu aku hanya bisa tertunduk malu. Inikah waktunya untuk
berubah?
***
Sejatinya, ketika kita telah berikrar untuk taat
pada Sang Maha Indah, semua perintah-Nya harus dijalani tanpa perlu
dipilah-pilah bukan? Namun, itulah yang terjadi denganku. Menunda-nunda
perintah Allah untuk menutup auratku.
Ah ya aku teringat saat mendaftar SMA dulu. Nenek
bertanya kenapa aku tidak memilih membeli baju seragam yang berjilbab saja? Aku
hanya menggeleng. Meski sebenarnya jauh di dasar hati ini, ingin sekali
mengenakan seragam berjilbab itu meski belum tahu benar apa artinya. Namun,
kondisi ekonomi keluarga yang saat itu baru saja terkena badai (aku menyebutnya
demikian karena memang telah membalikkan keadaan, dari mewah mendadak jatuh tak
punya apa-apa), jadi kusimpan saja keinginan itu. Terlebih saat melihat nominal
yang tertera di bawah keterangan seragam berjilbab, lebih mahal dari harga
seragam biasa.
Pikirku saat itu, mungkin dari sekarang kalau ibu
akan membelikan baju, aku bisa meminta baju berlengan panjang saja.
Hitung-hitung sebagai tabungan jika nanti aku telah mantap berhijab, yang entah
kapan masih belum bisa kupastikan.
Tahun berganti, stok baju panjangku kurang dari
sepuluh. Pun keinginan untuk berhijab seakan ikut lenyap terbang bersama debu.
Ya... keinginan itu menguap karena aku salah mengartikan bahwa berhijab bisa
saja mengurangi ruang gerakku sebagai pemain teater sekolah. Masak
main teater pake jilbab? Kalau pas dapet peran jadi preman gimana? Begitu
pikirku. Dan tentu saja itu alasan yang sangat dibuat-buat kan? Alasan yang
membuatku menunda-nunda titah Rabb-ku
Namun, sungguh Allah Maha Pengasih. Allah masih
mengasihi dan sangat sangat menyayangi diri ini meski, aku “mencoba” lalai dari
perintah-Nya tapi Allah terus memberikan nikmat yang tak pernah kusadari.
Lihatlah nilai-nilaiku selama SMA selalu tinggi, pun akhirnya aku bisa masuk
Universitas Negeri melalu jalur prestasi. Tapi, telinga ini masih tuli tentang
seruannya untuk segera menutup aurat ini.
Hingga ketika mata kuliah agama saat itulah
kupikir Allah membelaiku. Menyadarkanku kembali akan niat ini untuk berhijab.
***
Ketika hati sudah terketuk, ketika hidayah itu
telah datang. Bahkan setitik keraguan pun seakan sungkan untuk sekedar menyapa.
Ya... tepat pada H+ 2 idul fitri tahun 2005, kuambil khimar berwarna biru tosca
yang serasi dengan baju biru pemberian kakakku. Bismillah...tangan ini bergerak
dengan lihai menutup rambut dengan khimar biru. Seakan telah terlatih
bertahun-tahun memasangkannya di kepalaku. Kukaitkan peniti dengan cepat agar
rasa ragu mampir pun tak akan sempat. Dan...inilah aku dengan penampilan
baruku.
Awalnya ibu dan kakak-kakakku hanya berpikir aku
berjilbab karena masih dalam momen lebaran. Namun setelah kuutarakan niatku
untuk terus berjilbab, Allah memberiku hadiah lagi. Ibuku pun memutuskan untuk
berjilbab, “Masak anaknya pakai jilbab Ibunya nggak.” Begitu kata beliau.
Bagiku alasan apapun itu tak penting lagi, saat melihat ibu yang mulai belajar
untuk memperbaiki diri bersama-sama denganku.
Dan alasanku menunda-nunda berjilbab karena belum
ada stok baju lengan panjang pun terpatahkan. Entah darimana datangnya atau
memang sudah ada disana sejak lama, stok baju panjang yang kukhawatirkan kini
melimpah, menyesaki lemari pakaian. Sungguh benar, ketika kita mendekat kepada
Allah dengan berjalan kaki, Allah akan mendekat dengan berlari.
***
Hijab ini memang telah kupakai sejak 2005, namun
sayang aku masih belum tahu apa maknanya? Kupikir sekedar saran, sunnah, bukan
sebuah kewajiban yang seharusnya kukerjakan sejak lama.
Ya...meski telah berhijab, jiwa ini kosong.
Fakir ilmu. Hingga dentuman ujian terus menerus merongrongku. Mulai dari
menjadi pemegang rekor pengangguran selama setahun, hingga satu lagi cobaan
dahsyat yang menggoyahkan sendi-sendi keutuhan keluargaku.
Jilbab memang masih aku kenakan, tapi hati ini
terasa semakin jauh dari Tuhan. Ujian cinta dari Allah bukannya kusambut dengan
kesabaran, tetapi dengan kemarahan. Ya...bukankah aku sudah berhijab, sholat
pun tak pernah kutinggalkan, puasa ramadhan selalu kujalankan. Namun, kenapa
ujian ini terus menerus datang dan membuatku merasa semakin tak sanggup meski
sekedar tegakkan badan?
***
Ketika aku berpikir sudah tidak ada jalan untuk
keluar dari keterpurukan. Ketika beban terasa sangat berat dipikul sendirian.
Saat itulah kurasakan Allah tunjukkan jalan. Memberiku sebuah pemahaman.
Saat itu seorang teman di dunia maya
menyadarkanku bahwa masa remajaku dulu sungguh penuh dengan kesia-siaan.
Bagaimana tidak, lihatlah usianya jauh lebih muda dariku, belum menyentuh angka
dua puluh. Namun, pengetahuan tentang agama yang dimilikinya jauh diatasku.
Bahkan aku belajar darinya, bertanya tentang hal-hal yang belum kupahami artinya.
Khimar panjangnya mengusik rasa ingin tahuku
lebih dalam. Perlukah memakai khimar selebar dia? Tak cukupkah hanya menutup
rambut saja?
“Kan kaki termasuk aurat juga Mbak.” Jawabnya
ketika kutanya perlukah memakai kaos kaki segala. Astaghfirullah...sudah sekian
lama aku menutup aurat dengan jilbab, namun aku belum tahu bagian mana saja
yang harus kututup sempurna.
Rasa malu menyergapku. Sudah terlambatkah aku
belajar untuk lebih dekat dengan penciptaku?
Sungguh, aku tak akan pernah bosan menyebut ini.
Bahwa jika kita mendekati Allah dengan berjalan kaki, maka Allah akan mendekat
dengan berlari.
Ya...tidak lama setelah itu aku bergabung dengan
sebuah komunitas menulis di kotaku. Disanalah Allah membukakan jalan itu.
Bertemu dengan seorang teman berhijab lebar membuatku memberanikan diri
mengutarakan niatku untuk belajar agama lebih dalam lagi. Kusampaikan
keinginanku untuk memperbaiki diri ini.
***
Dan disinilah aku sekarang, mencapai titik
pemahaman tentang berhijab. Bukan sekedar menutup aurat, namun membenahi diri
untuk terus berada di jalan yang diridhoi. Dengan berhijab bukan berarti
kewajibanku tuntas, justru ini adalah sebuah awal untuk membuktikan sebesar
apa baktiku, cintaku untuk Rabb-ku.
Dan itulah kisahku, butuh waktu panjang untuk
paham. Bagaimana denganmu? Masihkah menunggu ujian maha dahsyat baru nyatakan
taat?(pm)
Rifka Fatmawati - Jember
(Peserta LNN 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar