Selasa, 19 Mei 2015

JALAN PANJANG HIDAYAH ITU

“Yang masih pakai baju lengan pendek, mulai sekarang coba pakai baju lengan panjang. Trus yang udah pakai baju lengan panjang, nunggu apalagi...kenapa nggak sekalian pakai jilbab.”
Kata-kata yang tampaknya sangat sederhana itulah yang menjadi titik awal perubahanku. Kalimat yang meluncur tulus dari seorang dosen mata kuliah agama, ketika aku masih semester satu dulu. Entah mengapa, meskipun mungkin  pesan itu disampaikan untuk semua mahasiswa yang menyesaki ruang kuliah, namun mendadak aku merasa Allah sebenarnya hanya menegurku. Saat itu aku hanya bisa tertunduk malu. Inikah waktunya untuk berubah?
***
Sejatinya, ketika kita telah berikrar untuk taat pada Sang Maha Indah,  semua perintah-Nya harus dijalani tanpa perlu dipilah-pilah bukan? Namun, itulah yang terjadi denganku. Menunda-nunda perintah Allah untuk menutup auratku.
Ah ya aku teringat saat mendaftar SMA dulu. Nenek bertanya kenapa aku tidak memilih membeli baju seragam yang berjilbab saja? Aku hanya menggeleng. Meski sebenarnya jauh di dasar hati ini, ingin sekali mengenakan seragam berjilbab itu meski belum tahu benar apa artinya. Namun, kondisi ekonomi keluarga yang saat itu baru saja terkena badai (aku menyebutnya demikian karena memang telah membalikkan keadaan, dari mewah mendadak jatuh tak punya apa-apa), jadi kusimpan saja keinginan itu. Terlebih saat melihat nominal yang tertera di bawah keterangan seragam berjilbab, lebih mahal dari harga seragam biasa.
Pikirku saat itu, mungkin dari sekarang kalau ibu akan membelikan baju, aku bisa meminta baju berlengan panjang saja. Hitung-hitung sebagai tabungan jika nanti aku telah mantap berhijab, yang entah kapan masih belum bisa kupastikan.
Tahun berganti, stok baju panjangku kurang dari sepuluh. Pun keinginan untuk berhijab seakan ikut lenyap terbang bersama debu. Ya... keinginan itu menguap karena aku salah mengartikan bahwa berhijab bisa saja mengurangi ruang gerakku sebagai pemain teater sekolah. Masak main teater pake jilbab? Kalau pas dapet peran jadi preman gimana? Begitu pikirku. Dan tentu saja itu alasan yang sangat dibuat-buat kan? Alasan yang membuatku menunda-nunda titah Rabb-ku
Namun, sungguh Allah Maha Pengasih. Allah masih mengasihi dan sangat sangat menyayangi diri ini meski, aku “mencoba” lalai dari perintah-Nya tapi Allah terus memberikan nikmat yang tak pernah kusadari. Lihatlah nilai-nilaiku selama SMA selalu tinggi, pun akhirnya aku bisa masuk Universitas Negeri melalu jalur prestasi. Tapi, telinga ini masih tuli tentang seruannya untuk segera menutup aurat ini.
Hingga ketika mata kuliah agama saat itulah kupikir Allah membelaiku. Menyadarkanku kembali akan niat ini untuk berhijab.
***
Ketika hati sudah terketuk, ketika hidayah itu telah datang. Bahkan setitik keraguan pun seakan sungkan untuk sekedar menyapa. Ya... tepat pada H+ 2 idul fitri tahun 2005, kuambil khimar berwarna biru tosca yang serasi dengan baju biru pemberian kakakku. Bismillah...tangan ini bergerak dengan lihai menutup rambut dengan khimar biru. Seakan telah terlatih bertahun-tahun memasangkannya di kepalaku. Kukaitkan peniti dengan cepat agar rasa ragu mampir pun tak akan sempat. Dan...inilah aku dengan penampilan baruku.
Awalnya ibu dan kakak-kakakku hanya berpikir aku berjilbab karena masih dalam momen lebaran. Namun setelah kuutarakan niatku untuk terus berjilbab, Allah memberiku hadiah lagi. Ibuku pun memutuskan untuk berjilbab, “Masak anaknya pakai jilbab Ibunya nggak.” Begitu kata beliau. Bagiku alasan apapun itu tak penting lagi, saat melihat ibu yang mulai belajar untuk memperbaiki diri bersama-sama denganku.
Dan alasanku menunda-nunda berjilbab karena belum ada stok baju lengan panjang pun terpatahkan. Entah darimana datangnya atau memang sudah ada disana sejak lama, stok baju panjang yang kukhawatirkan kini melimpah, menyesaki lemari pakaian. Sungguh benar, ketika kita mendekat kepada Allah dengan berjalan kaki, Allah akan mendekat dengan berlari.
***
Hijab ini memang telah kupakai sejak 2005, namun sayang aku masih belum tahu apa maknanya? Kupikir sekedar saran, sunnah, bukan sebuah kewajiban yang seharusnya kukerjakan sejak lama.
Ya...meski telah berhijab, jiwa ini kosong.  Fakir ilmu. Hingga dentuman ujian terus menerus merongrongku. Mulai dari menjadi pemegang rekor pengangguran selama setahun, hingga satu lagi cobaan dahsyat yang menggoyahkan sendi-sendi keutuhan keluargaku.
Jilbab memang masih aku kenakan, tapi hati ini terasa semakin jauh dari Tuhan. Ujian cinta dari Allah bukannya kusambut dengan kesabaran, tetapi dengan kemarahan. Ya...bukankah aku sudah berhijab, sholat pun tak pernah kutinggalkan, puasa ramadhan selalu kujalankan. Namun, kenapa ujian ini terus menerus datang dan membuatku merasa semakin tak sanggup meski sekedar tegakkan badan?
***
Ketika aku berpikir sudah tidak ada jalan untuk keluar dari keterpurukan. Ketika beban terasa sangat berat dipikul sendirian. Saat itulah kurasakan Allah tunjukkan jalan. Memberiku sebuah pemahaman.
Saat itu seorang teman di dunia maya menyadarkanku bahwa masa remajaku dulu sungguh penuh dengan kesia-siaan. Bagaimana tidak, lihatlah usianya jauh lebih muda dariku, belum menyentuh angka dua puluh. Namun, pengetahuan tentang agama yang dimilikinya jauh diatasku. Bahkan aku belajar darinya, bertanya tentang hal-hal yang belum kupahami artinya.
Khimar panjangnya mengusik rasa ingin tahuku lebih dalam. Perlukah memakai khimar selebar dia? Tak cukupkah hanya menutup rambut saja?
“Kan kaki termasuk aurat juga Mbak.” Jawabnya ketika kutanya perlukah memakai kaos kaki segala. Astaghfirullah...sudah sekian lama aku menutup aurat dengan jilbab, namun aku belum tahu bagian mana saja yang harus kututup sempurna.
Rasa malu menyergapku. Sudah terlambatkah aku belajar untuk lebih dekat dengan penciptaku?
Sungguh, aku tak akan pernah bosan menyebut ini. Bahwa jika kita mendekati Allah dengan berjalan kaki, maka Allah akan mendekat dengan berlari.
Ya...tidak lama setelah itu aku bergabung dengan sebuah komunitas menulis di kotaku. Disanalah Allah membukakan jalan itu. Bertemu dengan seorang teman berhijab lebar membuatku memberanikan diri mengutarakan niatku untuk belajar agama lebih dalam lagi. Kusampaikan keinginanku untuk memperbaiki diri ini.
***
Dan disinilah aku sekarang, mencapai titik pemahaman tentang berhijab. Bukan sekedar menutup aurat, namun membenahi diri untuk terus berada di jalan yang diridhoi. Dengan berhijab bukan berarti kewajibanku tuntas, justru ini adalah sebuah awal untuk membuktikan sebesar apa  baktiku, cintaku untuk Rabb-ku.
Dan itulah kisahku, butuh waktu panjang untuk paham. Bagaimana denganmu? Masihkah menunggu ujian maha dahsyat baru nyatakan taat?(pm)

Rifka Fatmawati - Jember
(Peserta LNN 2014)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar